Segalanya Bisa Terjadi dalam Sepak Bola

Share on :
AFP PHOTO
Foto pelatih kepala tim nasional Jerman, Joachim Loew (kiri) dan pelatih timnas Yunani, Fernando Santos, dalam laga Piala Eropa 2012, menjelang laga perempat final Piala Eropa 2012 di Gdansk, Kamis (22/6/2012).

Pernyataan Profesor Antropologi asal Inggris itu melukiskan bahwa sepak bola adalah drama. Tak bisa diprediksi, tak dapat pula ditentukan dengan rumus fisika. Tak cukup hanya kegigihan semata. Bisa jadi,takdir jua yang dapat menentukan nasib dari 22 manusia yang bertarung dalam lapangan sepak bola.

Lihatlah, satu gol gelandang Yunani, Giorgos Karagounis di penghujung babak pertama, sudah cukup untuk melempar favorit Grup A, Rusia dari Piala Eropa 2012 beberapa waktu lalu. Nyaris tereliminasi, Yunani akhirnya mampu lolos ke perempat final setelah menjadi runner-up grup. Mereka pun berpeluang kembali merajut mimpi delapan tahun silam saat menjadi kampiun Eropa.

Sepak bola saat ini memang satu-satunya mimpi yang masih diyakini oleh rakyat Yunani. Di tengah himpitan ekonomi, olahraga itu seakan bertransformasi ibarat wahyu keagungan bukit Olympus dengan keajaiban dewa-dewa sakti. Aroma panas politik gedung Parlemen Uni Eropa di Brusell, Belgia, yang tengah sibuk mencari cara mengatasi krisis sejumlah negara peserta, pun sedikit terurai jika sudah bersabda tentang sepak bola.

Walhasil, sangat wajar jika Yunani berbangga hati. Meski tidak datang dengan cara elegan seperti saat dewa Zeus turun ke bumi, mereka mampu menegaskan bahwa Piala Eropa selalu penuh dengan anomali. Tak sedikit pengamat memprediksi Yunani tak bakal mampu lolos babak penyisihan. Apalagi, permainan mereka dinilai membosankan, karena terkesan hanya menunggu bola mati di menit-menit akhir untuk menghempaskan sang lawan.

Pada Piala Eropa 2004 misalnya. Perancis, Ceko dan Portugal adalah beberapa contoh korban pasukan "Negeri Para Dewa" tersebut. Strategi tidak atraktif Yunani dengan memakai hampir 10 pemainnya untuk menjaga bola, terbukti sangat ampuh. Ketika lengah, seluruh pemain itu pula yang akan "menghancurkan" lawan dengan serangan balik cepat maupun eksekusi bola-bola mati.

Strategi tersebut memang disayangkan bagi para penikmat bola. Tapi, apakah taktik itu haram dalam sepak bola? Tidak. Strategi negatif itu justru seakan menjadi ilmu efektif dalam meredam lawan-lawan yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Lihat saja, bagaimana Chelsea mampu meredam kehebatan strategi tika-tiki Barcelona ataupun kecepatan Bayern Muenchen dan menjadi kampiun Liga Champions musim lalu

Dijembatani krisis
Kini, mimpi Yunani itu akan bertemu dengan harapan besar salah satu negara adidaya Eropa, Jerman di perempat final, Jumat (22/6/2012). Pertemuan ini memang tidak akan sarat dengan aroma kental rivalitas abadi soal urusan sepak bola. Jelas berbeda, andaikata jika Ceko atau Rusia yang menjadi penantang bagi Jerman.

Hanya bayang-bayang krisis Ekonomi Eropa yang menjembatani rivalitas kedua negara. Jerman, sebagai negara dengan perekonomian kuat, tengah memaksa Yunani yang terancam pailit untuk berhemat. Ancaman penarikan bantuan investasi pun menghantui Yunani jika tidak segera memangkas anggaran negaranya. Bahkan, tanpa bantuan Jerman, bukan tidak mungkin Yunani menuju kebangkrutan.

Melihat fakta itu, jelas Jerman diatas segalanya jika dibandingkan Yunani. Lihat saja, daftar unggulan Piala Eropa menempatkan Jerman di puncak, sementara Yunani di peringkat terakhir. Sejarah pertemuan kedua tim itu pun demikian. Dari delapan pertemuan terakhir sejak 1960, Jerman memenangi lima laga, sementara tiga lainnya berakhir seri.

Soal pembinaan, kita bisa lihat perbedaan keseriusan dua negara tersebut. Selama satu dekade, ratusan juta dolar dikeluarkan Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) untuk pembinaan usia dini. DFB pun juga mengajukan perubahan UU Imigrasi. Dengan konsep liberalisasi kependudukan, anak muda imigran akan mendapat kemudahan untuk mendapatkan paspor Jerman. Cara ini sangat menguntungkan timnas Jerman, karena otomatis investasi pemain muda akan terjadi.

Sementara, Yunani hanya bisa gigit jari. Kebangrutan ekonomi sejak lima tahun terakhir, menyebabkan seretnya perkembangan roda kompetisi. Hal itu kemudian berimbas pada Investasi pembinaan menjadi sangat minim yang membuat kompetisi tidak berkembang dengan baik.

Dalam beberapa puluh tahun terakhir, Yunani akhirnya kekurangan bakat alami pesepakbola. Buktinya dapat dilihat di Piala Eropa kali ini. Para pemain yang sudah dipenghujung karier, seperti Karagounis, Kostas Chalkias, dan Kostas Katsouranis masih terus dipakai. Maka wajar, mereka pun dipandang sebagai tim sepak bola lapis dua di Eropa.

Harapan dan mimpi
Melihat sejumlah fakta itu, maka wajar jika Jerman sangat berharap mampu mengalahkan Yunani dan memanen hasil kerja kerasnya tersebut di Piala Eropa tahun ini. Apalagi, revolusi semangat pantang menyerah, kualitas fisik, telah dileburkan dengan kehebatan teknik ibarat strategi "Blitzkrieg". Kerinduan memegang trofi Eropa yang hilang sejak 1996 nantinya juga akan menjadi semangat tersendiri bagi skuad muda "Der Panzer".

Namun, jangan lupa, 20 tahun silam, tidak ada satupun orang menaruh uangnya di bandar judi saat Denmark meraih Piala Eropa 1992. Belum lagi, ketika tim lapis dua, Cekoslowakia mampu menghempaskan Jerman, yang notabennya salah satu raksasa Eropa pada 1976. Paling "aneh" adalah kejutan yang ditorehkan Yunani sendiri saat mampu meraih trofi dengan permainan menjemukan pada 2004.

Belum lagi, aroma politik zona Euro begitu kental pada Piala Eropa kali ini. Yunani bisa saja berkesempatan untuk balas dendam atas "penghinaan" Kanselir Jerman, Angela Merkel. Ucapan Merkel yang menyebutkan orang Yunani malas dan enggan mengecangkan ikat pinggang terkait krisis Eropa, bisa jadi berubah menjadi motivasi juang tersendiri bagi skuad "Galanolefkii" di lapangan.

Walhasil, tak salah jika motivasi itu dikhawatirkan oleh Jerman. Sudah banyak bukti bahwa politik dan sepak bola ibarat darah dan daging dalam kehidupan. Pelatih Jerman, Joachim Loew, menegaskan akan tetap mewaspadai semangat juang lawannya tersebut. Meski menolak dikaitkan dengan politik, Yunani, kata dia, bukanlah tim yang bisa dianggap sebelah mata. "Kami harus fokus dan tidak boleh meremehkan mereka," kata Loew.

Bagaimana dengan Yunani? Meski tidak diunggulkan, sangat wajar jika tim asuhan Fernando Santos itu optimistis meraih kemenangan. Keagungan sejarah besar mereka, akan menjadi air sungai Heraclitus yang mengalir ke seluruh benak penggawa Yunani. Laiknya kebijakan tua para filsuf Athena bahwa tidak ada kepastian abadi di dunia, mereka tetap yakin segalanya bisa terjadi dalam sepak bola.


Sumber;

0 komentar on Segalanya Bisa Terjadi dalam Sepak Bola :

Post a Comment and Don't Spam!