Sunday, 15 January 2012 10:00
"Kita punya tanah dan air, sekarang sudah terbagi-bagi. Kekayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dikuasai hanya 0,02 persen kaum kaya raya," ungkapnya di Jakarta, Sabtu, (14/1/2012).Dijelaskannya, penguasaan itu di antaranya, 34 hektar hutan telah diberikan melalui hak pengusahaan hutan (HPH), 8,8 juta hektar hutan tanaman industri (HTI), 35 persen NKRI dikuasai 1964 perusahaan tambang dan Pulau Jawa dikuasai Perhutani, yakni 1,8 juta hektar (70 persen).
Menurutnya, hal tersebut dilakukan negara dengan memberikan secarik kertas untuk menyisihkan kepemilikan tanah rakyat atas nama negara. Hak tersebut terjadi lantaran belum dilakukannya reformasi agraria yang dijanjikan pemerintah.
"Reformasi agraria belum disentuh untuk akses kepemilikan tanah. Bahkan, UU yang berkaitan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) belum dirubah agar tanah-tanah tidak dapat dirampas oleh pihak yang mendapat secarik kertas atas nama negara. Hukum Hindia belanda yang diterapkan setelah kemerdekaan, berbunyi semua tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya menjadi milik negara, juga turut andil," ungkapnya.
Menurutnya, reforma agraria, artinya mengadung land reform, yakni kepemilikan tanah harus diredistribusi atas nama keseimbangan, kepatutan, dan keadilan, yakni berdasar pada UUPA No 5/1960 dan pasal 33 ayat 3 UUD 45 sebagai payung hukum. "Saya bilang, UUPA masih sebagai payung hukum yang harus dipertahankan," ucapnya.
Dijelaskannya, UUPA antara dipuja dan dikritik. Menurut kaum pemuja, UU inilah yang memayungi sosialisme agraria. Sementara itu, kubu kapitalis mengkritiknya karena tidak sesuai dengan pahamnya. "UUPA, benturkan dua kutub, yakni sosialis dan kapitalis. Kalau bisa ajukan mosi, dekati UUPA dari prospektif pancasila. Seperti ucapan Bung karno, ini negeri gotong rotong. Jadi, harus mengambil jalan tengah untuk nilai-nilai luhur agraria," paparnya.
Sedangkan untuk menyelesaikan sengkarut agraria, ditawarkannya, antara lain; pertama, harus ada impian dan keberanian pemerintah untuk membenahi masalah agraria. Kedua, mendorong petani memperoleh hak-haknya, ketiga, jangan sampai reforma agraria dijadikan sebagai bahan politik,tapi harus menjadi grand utama pembanguan nasional.
"Jepang, Korea, dan Cina negaranya maju karena melakukan reforma agraria untuk pembangunan nasionalnya," ujarnya.
sumber GATRA news